Kaki kecil itu terlihat riang merasakan genangan air hujan setinggi mata kaki. Suara kecipak air semakin membuatnya riang ditengah sunyinya jalan setapak siang itu. Sepatu sekolah yang di ikat kiri dan kanan dikalungkan ke bahu sejajar dengan tas sandang di belakang punggung. Gara-gara tas itulah ia akhirnya harus pulang sendirian. Tadinya ada beberapa teman dan kakak perempuannya sebagai teman pulang gadis kecil itu setiap harinya, tapi lagi-lagi ia lupa membawa tasnya pulang sehingga terpaksa membuatnya kembali sendirian ke sekolah setelah setengah perjalanan ke rumahnya.
Tatapannya teralihkan pada bunga tasbih yang mulai mekar dan berkilau oleh tetesan air sisa hujan dari pagi. Dipetiknya satu bunga berwarna merah itu, yakin takkan ada yang marah sebab tumbuh dipinggir jalan. Setelah mengaguminya sesaat di lanjutkannya perjalan pulang yang tertunda tadi. Namun ketika melewati rumpun bambu ia teringat satu hal, yang paling ditakutinya. Bukan hantu, tapi ular yang sering tampak memanjati pohon rambai disamping rumpun bambu. Benar saja, terlihat seekor ular coklat sedang menggelantung didahan nya. Kaki telanjang yang masih basah itu menjadi kaku, tak mampu menarik diri beranjak dari menatap binatang reptilia itu. Keringat dingin mengalir di balik seragam merah putihnya, bunga tasbih digenggamannya tadipun terjatuh namun tak lagi dihiraukannya. Bibir keringnya mulai melafalkan segala ayat pendek dan doa yang di hafalnya. Setelah dirasa cukup kokoh, ia pun akhirnya mampu menarik kakinya dan berlari kencang menuju rumahnya yang memang sudah terlihat.
Rumah kayu semi permanen beratapkan seng itu terlihat sangat asri, mungkin karena pepohonan disamping kiri kanan yang membuatnya terlindungi dari matahari yang memang tak menampakkan diri hari ini. Bunga-bunga di pot semen dan kaleng biskuit yang baru mekar menambah semarak warna dengan latar dinding rumah kayu yang hanya di cat kapur putih.
"maaammaaaa..." pekiknya sambil berlari menuju rumah. Namun di depan teras rumah yang tertutup itu hanya sang kakak yang ditemuinya sedang memasang wajah kesal. Dia bisa langsung menebak kalau rumah masih terkunci, ibunya belum pulang dari kantor, sang ayah masih bekerja di luar kota, sang adik pasti dibawa sang ibu kekantornya. Rasa takut akan binatang melata tadi hilang, berganti dengan rasa sedih mengingat perut lapar tapi terkunci diluar.
Sebenarnya sudah berkali-kali orang tuanya mencarikan pengganti asisten rumah tangga yang berhenti karena menikah. Namun zaman sekarang makin sulit mencari orang yang benar-benar mau menolong. Padahal syaratnya tidaklah harus bisa segalanya, cukup bisa mengurus anak-anak dan membantu sekedarnya itu saja. Bisa memasak adalah kelebihan tambahan, yang penting ada yang membukakan pintu anak-anak sekolah ini pulang. Apalagi semenjak pindah kerumah yang jauh dari rumah orang tua sang ibu, ketiga anak ini memang tak ada tempat singgahnya lagi.
"Air minum kau masih ada, Pi? Aku haus" tanya sang kakak melihat adiknya datang dan duduk di hadapannya di lantai teras rumah mereka.
"tinggal sikit, nanti aku haus kayak mana?" sang adik memeluk tasnya takut direbut kakaknya yang tubuhnya lebih besar dan lebih kuat.
"Mintaklah sikit, aku haus" sang kakak mulai mendekati dan menarik paksa tas sang adik, sang adik yang tahu pasti kalah jika melawan akhirnya pasrah menyerahkan tasnya. Sang kakak mulai membongkar isi tas sang adik.
"Mana botol minum kau? Ndak ada pun?" si kakak tak menemukan botol air di tas itu. Ah, lagi-lagi dia melupakan botol minumnya yang ditaruh di dalam laci meja sekolah. Untung saja ia membawa botol air mineral yang diisinya ulang, jika tidak pasti lah botol itu akan hilang lagi keesokan harinya. Sudah dua botol minum yang hilang, ibunya pasti marah jika ia meminta di belikan botol minum lagi.
"Ee...tinggal berarti" menyimpulkan ingatannya, sang kakak mendengus kesal melihat adiknya yang pikun dan kembali duduk di lantai teras yang dingin menahan rasa haus yang sejak tadi berusaha ditahannya. Si kakak melempar tas itu ke si empunya, sang adik memeluk kembali tasnya itu sambil tersenyum melihat tingkah kakaknya lalu berfikir tentang penyakit lupanya itu.
Entah mengapa belakangan ini ia sering lupa, lupa mengerjakan pr, lupa membawa pr, lupa membawa tas, lupa membawa topi, ada saja yang lupa setiap harinya. Karena itu hari ini ia menjadi satu-satunya anak yang harus berdiri di depan kelas karena tidak membawa pr, padahal tadi malam ia sudah bersusah payah mengerjakannya. Tidak ada tempat bertanya, ibunya tidak paham, kakaknya apalagi, biasanya sang ayah lah tempat nya melapor, tapi sang ayah tidak dirumah. Jadilah ia menyelesaikan soal pecahan itu dengan kalkulator punya sang ayah, tanpa langkah penyelesaian langsung hasil akhir, yang penting pr nya selesai walau akhirnya tetap tidak terbawa.
"Ndeh.. Manalah mama ni, lama kali pulangnya.." sang kakak yang seharusnya lebih tegar itupun akhirnya menangis. Perutnya lapar, udara sejuk sehabis hujan memang membuat perut lekas lapar. Apalagi ini memang sudah lewat jam makan siang mereka. Jajan yang diberikan tadi pagi sudah habis dibelanjakan saat istirahat tadi. Sebenarnya sang adik punya simpanan uang sedikit yang merupakan tabungannya untuk membeli majalah bobo kesayangannya di akhir minggu ini, untunglah sang kakak tidak memeriksa saku roknya. Ia lebih baik menahan lapar dari pada membelanjakan uang tabungannya itu, ia percaya sebentar lagi ibunya pasti pulang.
Ternyata perkiraannya sedikit meleset, hampir setengah jam barulah terdengar suara motor suzuki RC 80 menuju ke rumah itu. Tubuh yang mulai lemas dan mengantuk itupun lekas berdiri menyambut kepulangan sang ibu dan adik mereka.
"haloo..." sapa sang adik bungsu yang masih balita itu tersenyum melihat dua kakaknya yang lusuh dan lemas. Setidaknya ia sudah kenyang makan lontong sayur di kantor ibunya tadi, pulang ini ia ingin menonton televisi kesukaannya, pikirnya.
"Mama lama kali pulangnya..." rengek sang kakak pertama menahan tangis diikuti sang adik dengan mata berkaca-kaca antara kesal dan ingin marah namun cukup terharu karena selamat dari bencana kelaparan.
"iya mau gimana, belum selesai kerjaan mama" jawab sang ibu menenangkan dua anaknya dengan senyum di wajah lelahnya. Ia tahu anak-anak nya pastilah kelaparan dan kehausan. Sepanjang hari memang itu jualah yang ada di fikirannya, detik-detik menjelang tengah hari adalah puncak kecemasannya, waktu dimana anaknya pulang sekolah, rumah terkunci, anak-anak itu terpaksa harus menunggu di teras rumah.
Memberi mereka kunci bukan pilihan aman mengingat keduanya masih belum paham, takutnya malah sibuk mencolokkan alat listrik, main di dekat sumur yang cukup dalam atau menghidupkan kompor. Kalau dibiarkan lama diluar nanti ada pula yang menculik atau pergi main yang jauh dari rumah. Pikiran-pikiran seperti itulah yang selalu membuatnya tak fokus bekerja dan memaksanya sering pulang di awal waktu. Atasan sudah acap kali menegur tapi mau bagaimana lagi, tanggung jawab sebagai ibu tak bisa diabaikannya.
Setelah menikmati nasi ramas bungkus dengan lauk gulai ayam yang terasa sangat lezat apalagi saat lapar, kedua anaknya itupun mengantuk lalu menyusul berbaring di samping si bungsu yang lebih dulu tidur disamping sang ibu mereka di ruang keluarga beralaskan tikar plastik. Sang ibu yang tadinya berniat untuk kembali ke kantor menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk hari ini pun akhirnya tak kuasa menahan kantuk yang menular. Belakangan ia memang merasa cepat lelah, pusing dan mual, mungkin Tuhan mulai mempertimbangkan keinginan sang suami yang ingin memiliki teman berpetualang, seorang adik lelaki untuk ketiga anak gadisnya.
Selesai